Rabu, 10 Desember 2008

Puasa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban"  diartikan
sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang
berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang
juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi
penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa
sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan
"marhaban ya Ramadhan".

Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga",
sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.
Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak
seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan
selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat
yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1
kaki di) dataran rendah yang mudah."

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau
"lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut
dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta
dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja
yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan
"marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti
"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau
kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya
Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti
bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;
tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya
"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu,
karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh
guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,
itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar
yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis
yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah
tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan,
semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad
tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan
saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak
tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih
untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan
ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir
bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih
perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.

Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan
itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang
harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk
memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan
dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada
Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.
Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran
Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.

PUASA MENURUT AL-QURAN

Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali,
kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.
Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya
adalah menahan diri untuk tidak bebicara:

Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari
ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
pun (QS Maryam [19]: 26).

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat
Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran
anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing
sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,
sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa
adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada
pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin
wash-shaimat.

Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari
akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa
maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak
bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.
Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa
pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertian
kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat,
sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,
minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari".

Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan
kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini
mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan
pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya
adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa
dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian
bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran
dan puasa.

Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa
untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh
banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan pahalanya tanpa batas.

Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.

Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum
sebagaimana disinggung di atas.

1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.

2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
semacamnya.

3. Puasa sunnah.

Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar
pada puasa bulan Ramadhan.



Tidak ada komentar: