Senin, 10 Maret 2008

zakat

Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesanmemaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjungkapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang pentingbukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanyakekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat"itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagaitokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulitorang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnyadiperlihatkan juga. Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilansekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang takmasuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkaramustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikanshalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tibaterpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupiorang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya.Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa dialam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanyapas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secaraterus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi,bagaimanapun hal ini memang tak mustahil. Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenishalte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akanmunculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tanganlangsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islamdatang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan olehmanusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segalakemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatanmaupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisabaik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadilaiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa,manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memilikikemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalausaja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam takpunya urusan. Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuranyang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul(sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qulartinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinyabisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalamujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadirdalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logikateoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empirisbersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebutma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yangbisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwayang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secaraimplisit haruslah ma'qul. Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebihmendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa sajamengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'quluntuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu,satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga,yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, ataukeadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah padapemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunyarukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materiitu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapihanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya. Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber dayamateri sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkanmeletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikianrupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangantertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekanserendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memilikibagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapiagar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yanglain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermuladari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan dibidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu sajamembuntuti. Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusikekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yangdimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yangdiperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yangtak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentinganbersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalanganberada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusiamengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiranlembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukanpengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yangdalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenaldengan negara (state), dari sudut moral memang merupakananomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untukmenjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi. Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moralhanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racunpenawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yangkuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peranterbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistemhukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (sepertisatelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadialat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnyadinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabilapernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusiayang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaganegara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisitingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telahlenyap berikut seluruh akar-akarnya. Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajaksedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaanseperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggiyang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya,setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajibpajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkatkehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semuapihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya palingdiuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini? Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negarayang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, sepertiyang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadapnegara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis,seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gilalagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolutzaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulaimelibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukanpenggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarkiabsolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja. Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyatdalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uangpajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasanrakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi,kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebihsublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, dinegara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembagaperwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politikkalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalahsekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku merekatetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan parapenguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga PerwakilanRakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, padahakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa. Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensilembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif)memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalamrangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentinganrakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagisepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baiksecara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapijuga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah,yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yangpaling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya(eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada ditangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah danterutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yangjustru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja iadiucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalamalokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yangpaling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi ataumelayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melaluisektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demikepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunansarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalanganmasyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanjayang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), samasekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerikayang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribusampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yangtuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwarakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memilikinegara. Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyakorang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telahmenempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaumlemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakatbangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat duniaTimur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya(charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yangmiskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siapmenawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupunyang berupa pinjaman (loan). Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoniuntuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistemkenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memangmerupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jikadilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kitabahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demikepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentinganrakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka(negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalahkepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan ataupemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politikmengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalanganpara kaya kapitalis, selaku cukongnya. Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa,sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakatbukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikirankenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranatapajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban)sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jamanini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya,bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yaknibeban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga taksampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timuryang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orangkaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan parapenguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Baratyang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinyadiprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah,diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yangsudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elitepolitik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya. Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusikekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilansosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagiterutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan takada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untukmengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi,jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi idepemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannyamereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian darikekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokoktak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kinijelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaganegara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuatselingkuh. So, what?! Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkanatau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanyatak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebihluas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa punkonyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaganegara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya samabelaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitasmanusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badanbesar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawiyang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi denganbercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun--kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankanjalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripadadiperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yangpaling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yangmengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengankewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terusmenerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsujahat yang mengitarinya." Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusiatak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaganegara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengansadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya,lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh,dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial(amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agarkeberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagikepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagikepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Darisudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaanpemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingansegenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dankesejahteraan) bagi semuanya. Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dankerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harusdiselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (danpada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yangsudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih darisepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu.Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkinmerasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harusberspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpakeberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahanitu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan,apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.

Tidak ada komentar: