Senin, 10 Maret 2008
wawasan al-qur'an
PUASA (1/2) MARHABAN YA RAMADHAN Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikansebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yangberarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yangjuga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang." Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapipenggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wasahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan"marhaban ya Ramadhan". Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga",sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidakseperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapanselamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersiratyaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1kaki di) dataran rendah yang mudah." Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau"lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambutdan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan sertadipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa sajayang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan"marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan ataukebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban yaRamadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung artibahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita. Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu,karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuhguna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt. Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukaryang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblisyang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambahtinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan,semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekadtetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dansaat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampaktempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernihuntuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akanditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafirbertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebihperjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin. Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalanitu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yangharus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untukmemerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhandengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepadaAllah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaranAl-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya. PUASA MENURUT AL-QURAN Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali,kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanyaadalah menahan diri untuk tidak bebicara: Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]: 26). Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikatJibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahirananaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masingsekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasaadalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepadapelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaiminwash-shaimat. Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dariakar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasamaknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidakbergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apapun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertiankebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat,sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajarhingga terbenamnya matahari". Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkankegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Inimencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati danpikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnyaadalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasadipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertianbahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabarandan puasa. Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasauntuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan olehbanyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa. Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukumsebagaimana disinggung di atas. 1. Puasa wajib sebutan Ramadhan. 2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya. 3. Puasa sunnah. Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisarpada puasa bulan Ramadhan. PUASA RAMADHAN Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam suratAl-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwapuasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba diMadinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarahturun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajibanmelaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'bantahun kedua Hijrah. Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selamasebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quranyang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapatdikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat(beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagaitiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal darikewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjangdengan turunnya ayat 185: Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya. Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhanterputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepadaketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulislebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwaAl-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahilbahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnahsebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagitidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasasunnah tertentu. Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan,dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islamuntuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalanpun. Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai denganpanggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkankepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yangmewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimanadiwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagitujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasasendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)." Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskanbahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yangberada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaansehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,"maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari iatidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain."Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagaigantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makanseorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataanbahwa "berpuasa adalah baik." Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaanbulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untukberpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwaorang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasadengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasasebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasaRamadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untukkamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbirdan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapitentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannyadalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasiatersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1anRamadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karenaitu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepadahamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa." Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukanhubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentanglamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnyafajar sampai terbenamnya matahari. Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dariayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan denganhukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata ataukalimat dari ayat-ayat puasa di atas. BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit) Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasasecara garis besar dapat dibagi dua: 1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan 2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa. Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang dideritaoleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnuSirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan,dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harusdicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayatmencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknyakita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksidemikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masinguntuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Disisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa denganalasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikanhari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain. b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan) Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasabagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitandengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwajarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi adajuga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapapun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan(rukhshah). Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini.Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsurkeletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnyajarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurangdari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapatdijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atautidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izinini. Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalananyang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamakshalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalamkerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji,silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis danmubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknyaalasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkanberbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untukperbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidakmemperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmatkemudahan dari Allah Swt.? Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorangmusafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'imenilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yangmampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki danSyafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepadamasing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, makaitulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan olehsebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas binMalik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan dibulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidakberpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga(mereka) yang tidak berpuasa." Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebihbaik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yangmenilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalahizin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasanAl-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendakikemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan." Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka,antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,yaitu: c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain). Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untukmeluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebihkurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan(dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yanglain." Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang olehulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yangmembolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajibanmengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orangyang sakit tetapi tidak berpuasa. Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah,sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagiorang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain sepertibunyi harfiah ayat di atas. Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harusberturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yangmenyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyahr.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata padaayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnyamemerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukanbersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlahyang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun minayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut ataubersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehinggaakhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yangtercantum dalam Mushaf sekarang. Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam artiharus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapatditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanyasegelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin,namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupundiakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalauRamadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempatmenggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di sampingberpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makanseorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkankaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat diatas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar